Monday, 21 December 2015

-Jangan Bercita-cita Untuk Mati


Terjemahan:

Daripada Anas (ra) katanya: Telah bersabda Rasulullah (sallallahu alayhi wasalam): Janganlah sekali-kali salah seorang daripada kamu bercita-cita untuk mati disebabkan karena musibah yang menimpanya. (Tetapi) sekiranya dia terpaksa juga berbuat demikian, maka ucapkanlah (berdoalah): Ya Allah, hidupkanlah aku selagi kehidupan ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku sekiranya kematian itu adalah lebih baik bagiku.

(Mutaffaqun Alayhi – Bukhari Muslim)

Syarah Al-Hadis:

Hadis di atas melarang kita mengharapkan atau berdoa supaya cepat mati karena musibah atau bencana yang menimpa kita seperti karena sakit, kefakiran, ketakutan ataupun sebab-sebab lain yang seumpama itu.

Hal ini disebabkan karena bercita-cita supaya lekas mati boleh membawa kepada beberapa keburukan, antara lainnya:

1. Sikap tersebut (bercita-cita untuk lekas mati itu) menandakan bahwa orang berkenaan tidak redha dengan musibah yang menimpanya. Padahal kita disuruh agar banyak bersabar menghadapi cobaan Allah dan berusaha untuk mengatasinya. Sedangkan bercita-cita untuk lekas mati adalah bercanggah dengan prinsip di atas.

2. Sikap demikian juga dapat melemahkan jiwa, mendorong sifat malas dan putus asa. Padahal setiap kita dituntut agar membasmi sifat-sifat negatif tersebut. Dan berusaha keras melenyapkannya dengan harapan semoga usaha kita itu mendapat restu dan taufiq Allah SWT.

3. Sikap tersebut juga melambangkan kejahilan dan kebodohan orang berkenaan. Dia tidak tahu apa yang akan menimpanya setelah dia mati. Barangkali dugaannya meleset (tidak tepat), dikiranya dengan lekas mati dia bolih terlepas daripada penderitaan, rupanya di alam sana (barzakh dan alam akhirat) dia ditunggu olih penderitaan yang lebih dahsyat. Wal ‘Iyadzu Bil Laah Min Dzaalik (semoga kita dilindungi olih Allah daripada keadaan demikian).

4. Sesungguhnya dengan kematian, berarti terputuslah atau berakhirlah kesempatan atau peluang seorang hamba dari melakukan amal-amal salih yang sepatutnya ia lakukan supaya menambah bekalnya di akhirat nanti dan agar sisa umurnya dapat diisi dengan sesuatu yang bermakna. Dan bagaimana dia bolih bercita-cita untuk memutuskan kesempatan beramal, padahal kalaulah satu bibit amal salih itu dia tanamkan dalam hayatnya di sini, niscaya dia akan memungut hasilnya kelak di akhirat lebih baik daripada dunia dan segala apa yang terdapat di dalamnya.

5. Dan yang paling merugikan ialah bahwa dengan sikap demikian maka akan luputlah daripadanya ganjaran yang amat besar. Padahal jika dia bersabar menghadapi sesuatu ujian daripada Allah maka dia akan mendapat bermacam-macam ganjaran daripada Allah, antara lain: pengampunan dosa, kasih sayang Allah dan ganjaran yang tidak terkira. Lihat firman Allah:
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.(Az-Zumar 39:10):
Jadi atas dasar inilah maka pada akhir Al-Hadis di atas baginda Rasulullah (sallallahu alayhi wasalam) bersabda:
(Tetapi) sekiranya dia terpaksa juga berbuat demikian, maka ucapkanlah (berdoalah): Ya Allah, hidupkanlah aku selagi kehidupan ini lebih baik bagiku dan matikanlah aku sekiranya kematian itu adalah lebih baik bagiku.
Dalam hal ini kita disuruh agar menyerahkan perkara yang berhubungan dengan hidup dan mati kita kepada Allah, Yang Maha Mengetahui tentang mana di antaranya yang lebih baik. Dia mengetahui kemaslaahatan (kebaikan) hamba-hambaNya yang hamba-hambaNya sendiri tidak mengetahuinya.

Ini berbeda dengan kandungan hadis Nabi (sallallahu alayhi wasalam):
Janganlah hendaknya salah seorang daripada kamu berdoa: Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa)ku jika Engkau mahu. Ya Allah, kasihanilah aku jika Engkau mahu. Tetapi hendaklah dia memohon dengan azam yang putus.
Di dalam hadis (1) yang menjadi pembahasan kita di atas bahwa yang kita pohonkan kepada Allah itu bergantung erat dengan ilmu dan iradat (kehendak) Allah, iaitu kita selaku hamba tidak tidak mengetahui apakah akibatnya akan membawa kebaikan atau keburukan pada masa hadapan.

Adapun tentang kandungan hadis (2) adalah sudah jelas kebaikannya, kita tahu akan kepentingannya, malahan setiap insan sangat berhajat kepadanya iaitu maghfiratullah (ampunan Allah) dan rahmatNya. Setiap muslim mestilah memohon kedua-duanya kepada Allah dengan azam yang putus, bukan menggantungkannya kepada kemahuan Allah. Ini karena setiap manusia disuruh dan diwajibkan berusaha ke arah mendapatkannya. Malahan segala tenaga mestilah dicurahkan dan segala jalan mestilah ditempuh untuk membolihkannya sampai kepada maghfirah dan rahmatnya itu.

Kebanyakan ulama mengecualikan dalam hal ini, kebolihan bercita-cita untuk mati jika khawatir ditimpa fitnah. Ini berdasarkan ucapan Maryam (ra):
Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon korma, lalu ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan”. (Surah Maryam 19:23)
Sebagaimana juga mereka membolihkannya atas sebab terlalu rindu kepada Allah. Ini berdasarkan ucapan Nabi Yusuf (as):
Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkau Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang salih. (Yusuf 12:101)
Imam Qatadah berkata: Tidak seorangpun rasul atau bukan rasul yang bercita-cita untuk mati kecuali Nabi Yusuf (as) iaitu ketika telah sempurna nikmat Allah diterimanya, lalu beliau sangat rindu untuk menemui Allah Azza Wa Jalla.

Dalam hal ini, pendapat yang lebih kuat ialah sebenarnya Yusuf tidaklah bercita-cita untuk mati tetapi beliau hanya ingin agar mati dalam Islam. Artinya: Jika sampai ajalku maka matikanlah aku sebagai seorang muslim.

Adapun tetang Maryam ibu Nabi Isa (as) maka keinginannya untuk mati itu mengandungi dua kemungkinan:

1.       Beliau khawatir disangka telah melakukan perkara buruk dalam agamanya (berzina), lalu selanjutnya akan dihina.

2.       Beliau khawatir kaumnya akan musnah disebabkan olih dirinya karena keadaannya (hamil tanpa suami) bolih mendorong mereka untuk memfitnah dan menuduhnya tanpa bukti.

Saidina Omar pernah berdoa:
Ya Allah, sungguh telah lemah kekuatanku, telah lanjut usiaku dan telah tersebar luas pengikutku, olih sebab itu matikanlah aku dalam keadaan senang tidak mengabaikan dan melalikan (titah perintahMu). (Dikeluarkan olih Imam Malik)
Wasallam.

No comments:

Post a Comment